Five moments from a conversation between artists Shams Najafi and Joyce Fung about Shams’s art and life.
Shams Najafi is a painter, photographer, and videographer from Ghazni, Afghanistan. Since being forced to flee home in 2014, he has been living and making works in Pekanbaru, Indonesia. His works are influenced by his long time living in uncertainty, and are inspired by such artists as Vincent van Gogh, Egon Schiele, and Edvard Munch. Shams is a frequent contributer to the archipelago, creating commissioned works for a range of short stories from Indonesia and Afghanistan.
Joyce Fung is an artist from Hong Kong, Cambridge MA, Berlin, Beijing, Manila, and Jakarta. Moving houses all her life, she makes home in places by creating works about them, their people, and their things.
Berikut lima cuplikan dari percakapan antara Shams Najafi dan Joyce Fung tentang karya dan kehidupan Shams.
Shams Najafi adalah seorang pelukis, fotografer, and videografer asal Ghazni, Afghanistan. Sejak ia terpaksa meninggalkan negaranya pada tahun 2014, Shams menetap dan lanjut berkarya di Pekanbaru, Indonesia. Karya-karya Shams dipengaruhi oleh pengalamannya yang telah lama hidup dalam ketidakpastian serta terinspirasi oleh seniman lain seperti Vincent van Gogh, Egon Schiele, dan Edvard Munch. Shams kerap berkontribusi di the archipelago dengan membuat ilustrasi untuk cerita cerita pendek dari Indonesia dan Afghanistan. Joyce Fung adalah seniman dari Hong Kong, Cambridge MA, Berlin, Beijing, Manila, dan Jakarta. Sepanjang hidupnya, Fung sering berpindah tempat tinggal. Ia pun membangun ‘rumah’ di berbagai tempat dengan menciptakan karya-karya yang berkisah tentang tempat tersebut, orang-orangnya, dan juga benda-benda dari sana.
I. Realism | Realisme
“The first drawing that I remember I did is realistic. It is a small, simple drawing of a traditional Hazara person. A man with a beard, a hat on top of his head. A portrait from the side, some academic shading. I knew a little about the structure of the face, some details of the beard, the head, and drew the rest by imagination. I was in school at the time, 10 or 12. My classmates did not believe that I did it. So I re-did it to show them.
“I was very good at drawing at the time. When I was 13 or 14, our teacher always asked me to draw a head on the board, or an eye, a stomach. I was the artist of the class.”
“Saya ingat gambar pertama yang saya buat adalah gambar kecil dan sederhana yang bergaya realistis. Gambar itu gambar orang Hazara tradisional; gambar seorang pria berjanggut yang memakai topi di atas kepalanya. Saya menggambarnya dari samping dan saya arsir sedikit untuk memberi efek bayangan. Saya hafal sedikit kerangka wajahnya, detail-detail janggutnya, kepalanya, dan menggambar sisanya berdasarkan imajinasi saya. Waktu itu, saya masih sekolah, sekitar usia 10 atau 12 tahun. Teman-teman sekelas saya tidak percaya kalau saya yang menggambarnya. Jadi saya menggambar ulang di depan mereka. “Saya sangat pandai menggambar waktu itu. Ketika saya berusia 13 atau 14 tahun, guru saya selalu meminta saya untuk menggambar sebuah kepala, atau mata, atau perut di papan tulis. Dulu, saya adalah seniman kelas kami.”
II. From Realism to Expressionism | Dari Realisme Menjadi Ekspresionisme

42cm × 60cm
Pastel, charcoal and water color on paper
“As you can see in this painting, the hand is realistic. The head is realistic somehow. But the body is unrealistic. I painted it from the feeling of the time, the feeling of living as a refugee. Sometimes it is very good, sometimes very bad. The feeling came, I painted, and it became like this.
“When I came to Indonesia, I was in jail for two months, then in detention center for three years and a half. In the first year, I did not do anything. But then I realized if I sit down and waste my time, it will kill me one day. I realized I should be painting. I studied more about art and understood that there are a lot of styles. That as an artist, I should choose my own. I researched and researched and found Egon Schiele and Edvard Munch, and moved from the more realistic to the more expressionistic. Maybe that was the mood of the time.”
“Seperti yang terlihat, tangan di lukisan ini realistis. Kepalanya juga agak realistis. Tetapi tubuhnya tidak. Saya melukisnya berdasarkan perasaan saya saat itu; perasaan setelah saya hidup sebagai pengungsi. Kadang-kadang saya merasa sangat baik dan kadang-kadang sangat buruk. Perasaan itu datang dan saya melukisnya. Akhirnya, hasilnya seperti ini. “Setelah tiba di Indonesia, saya dipenjara selama dua bulan, lalu dipindah dan menetap di pusat penahanan selama tiga setengah tahun. Pada tahun pertama saya di sana, saya tidak melakukan apa-apa. Tapi kemudian saya sadar kalau hanya duduk-duduk dan menyia-
nyiakan waktu akan membunuh diri saya suatu hari nanti. Saya menyadari kalau saya seharusnya melukis. Setelah itu, saya mempelajari lebih banyak tentang seni dan memahami berbagai aliran seni. Sebagai seorang seniman, saya harus memilih aliran seni yang cocok dengan diri saya. Saya mempelajari seni dengan lebih dalam lagi dan menemukan Egon Schiele dan Edvard Munch. Kemudian saya berpindah dari realisme menjadi lebih ekspresionistis. Mungkin saya dipengaruhi suasana hati saya saat itu.”
III. From Expression to Thought | Dari Ekspresionisme Menjadi Renungan

70cm × 50cm
Acrylic on canvas
“Most of the time, I do not think about the detail. I use the brush, I do this, and that is it. But for this painting, I did think. Because it was a memory, not a feeling of the exact time. I thought about how to express when a person is hungry, how to express when a person cannot sleep. From the plate and the zipper like animal teeth, to the upside-down hand, the face, the ear.
“In jail, they gave us very little food. I was hungry and angry. It was very cold at night. We slept in front of the offices. I could not sleep. I could not paint. After that time, I realized I should recognize it. So that when I cannot tell anymore how hard it was, I still have this painting, I still have this memory of that time. If it looks bad, that is the reality of myself at that time. If it looks good, that is also the reality of myself at that time.”
“Saya seringkali tidak memikirkan detail saat melukis. Saya hanya mengambil kuas dan langsung melukis, itu saja. Tetapi untuk lukisan ini, saya sempat merenungkan detail- detailnya. Karena ini berdasarkan sebuah memori, bukan perasaan dari waktu itu. Saya merenungkan bagaimana cara melukis seseorang yang lapar, orang yang tidak bisa tidur. Saya renungkan bagaimana melukis piringnya, resletingnya yang seperti taring hewan, wajahnya, telinganya, hingga posisi tangannya yang terbalik. “Waktu di penjara, kami diberikan sedikit sekali makanan. Saya kelaparan dan marah. Udaranya sangat dingin di malam hari. Kami pernah tidur di depan gedung kantor imigrasi. Tapi saya tidak bisa tidur. Saya tidak bisa melukis. Setelah itu, saya sadar kalau saya harus mengabadikan keadaan saya tersebut. Supaya ketika saya tak bisa lagi menceritakan betapa sulitnya waktu itu, saya masih punya kenangannya dalam bentuk lukisan ini. Jika lukisannya terlihat buruk, itu adalah kenyataan waktu itu. Jika terlihat bagus, itu juga kenyataan waktu itu.”
IV. From Thought to Surrealism | Dari Renungan Menjadi Surealisme

50cm × 52cm
Water color on paper
“This painting is from the mind; is surrealistic. It is of two stones, two statues from the back. Two statues of Buddha, fleeing far away from home, becoming refugees.
“In Bamyan, Afghanistan, we have two statues of Buddha, from maybe a thousand and five hundred years ago. They are the symbol of our people, the Hazara people. When the Taliban came, they destroyed them. So I painted the statues of Buddha escaping, with all their trees, all their roots.
“I grew up in a beautiful village, full of trees. My father, who passed away last year, used to keep those trees, very old trees. He told me these trees show our roots. We are from Afghanistan. We belong to Afghanistan. When we cut a tree, the tree will die. But when we take out a tree with the roots, it continues to live. When we immigrate, we continue life.”
“Lukisan ini hasil dari renungan saya yang beraliran surealis. Lukisan ini menggambarkan dua patung batu yang terlihat dari belakang. Itu adalah patung-patung Buddha yang melarikan diri jauh dari rumah dan menjadi pengungsi. “Di Bamyan, Afghanistan, ada dua patung Buddha yang mungkin sudah ada sejak seribu lima ratus tahun yang lalu. Keduanya adalah simbol masyarakat kami, orang-orang Hazara. Ketika pasukan Taliban datang, mereka menghancurkan patung-patung tersebut. Jadi saya melukis patung-patung Buddha sedang melarikan diri, membawa pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling mereka berserta akar-akarnya. “Saya dibesarkan di sebuah desa indah yang rimbun akan pepohonan. Ayah saya, yang sudah meninggal tahun lalu, dulu suka merawat pohon-pohon yang sangat tua tersebut. Dia berkata pada saya bahwa pohon-pohon tersebut melambangkan akar-akar kami, asal-usul kami. Kami dari Afghanistan. Kami milik Afghanistan. Ketika kita menebang pohon, pohon itu akan mati. Jika kita mencabut pohon bersama akar-akarnya, pohon itu akan tetap hidup. Ketika kita berpindah sambil membawa asal-usul kita, kita dapat melanjutkan hidup di mana saja.”
V. From Surrealism to Reality | Dari Surealisme Menjadi Realitas
“Now I have gone back to realism. Because life is hard, I need money, I need to work. If I paint and can sell the painting, it is better for my life, so I have to do that. I do not like to, but I have to. Still, I try to put in some not really realistic bits somehow.
“Right now, I am more in photography than painting. Because I cannot do two different paintings in the same time, one realistic and one expressionistic, I choose instead to take photos. Because it is fun, I meet new places, new people, and that is fun also.”
“Sekarang, saya kembali lagi ke aliran realisme. Karena hidup sedang susah. Saya perlu uang, saya harus kerja. Jika saya melukis dan menjual lukisan saya, itu lebih baik untuk hidup saya, jadi saya harus melakukannya. Saya tidak suka melakukannya, tapi saya harus. Yah, tapi saya masih berusaha untuk menyelipkan unsur-unsur yang tidak realistis dalam lukisan saya. “Sekarang, saya lebih banyak melakukan fotografi daripada melukis. Alasannya karena saya tidak bisa melukis menggunakan aliran yang berbeda (realistis dan ekspresionis) dalam satu waktu. Sebagai gantinya, saya memilih fotografi. Fotografi menyenangkan. Karenanya, saya dapat mengunjungi tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Itu semua juga mengasyikkan.”
Other Selected Works | Karya-Karya Terpilih Lainnya

56cm × 40cm
Pastel, charcoal and water color on paper

42cm × 60cm
Pastel, charcoal and water color on paper

30cm × 20cm
Water color and acrylic on paper

30cm × 20cm
Oil color on canvas
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Chairunnisa Zahra Aisyah. Chairunnisa Zahra adalah seorang penerjemah bahasa Indonesia-Inggris yang bermukim di Jakarta.
Editor’s Note: This interview was updated on March 22, 2023 to add Indonesian translation to the English original.
Translation by Chairunnisa Zahra Aisyah, who is an Indonesian-English translator based in Jakarta.
If you liked this article, please support the archipelago’s writers and artists by becoming a member HERE.
Shams Najafi is a painter, photographer, and videographer from Ghazni, Afghanistan. Since being forced to flee home in 2014, he has been living and making works in Pekanbaru, Indonesia. Shams is a frequent contributer to the archipelago, creating commissioned works for a range of short stories from Indonesia and Afghanistan.Joyce Fung is an artist from Hong Kong, Cambridge MA, Berlin, Beijing, Manila, and Jakarta. Moving houses all her life, she makes home in places by creating works about them, their people, and their things.