Peringatan: Cerita mengandung kisah depresi dan bunuh diri.
Kami ingin seperti kalian juga, sebagai manusia, yang punya rumah dan berkeluarga dengan aman dan nyaman.
Namaku, Ali Froghi. Aku berusia 26 tahun. Pada 2013, aku tiba di Indonesia sebagai seorang pengungsi. Selama berada di sini, tidak ada kejelasan soal bagaimana para pengungsi menemukan negara baru yang kelak bisa kami sebut rumah – sebuah tempat untuk tidur nyaman, bekerja, dan tentunya tumbuh bersama keluarga. Sudah hampir satu dekade. Entah kapan aku bisa merasakannya.
Di Afganistan, aku sudah menekuni seni lukis. Di Indonesia, aku kemudian juga menggeluti fotografi. Karya foto menjadi caraku menyampaikan dan membagikan kesedihan dan rasa sakit tak terperi para pengungsi hari demi hari, di mana aku turut menjadi bagian.
Sembilan tahun bukanlah waktu singkat. Ada 3.285 hari berjalan. Waktu berlalu begitu saja. Dan itu banyak kami habiskan tanpa melakukan apapun yang berarti.
Dari hari ke hari, kami terombang-ambing di antara harapan yang tumbuh dan ketakutan yang tercipta. Pada akhirnya, aku dan belasan ribu pengungsi di Indonesia hanya bisa berusaha sekuat tenaga bersabar. Ya, kami bernapas, tapi tidak benar-benar hidup.
Masa depan kami gelap pekat. Dalam kekelaman, kami tidak bisa lari dari rasa frustrasi dan depresi. Di Makassar, aku acapkali menghadiri pemakaman para pengungsi. Ada yang meninggal karena sakit dan bahkan bunuh diri.
Sejak 2013, sebanyak 17 orang pengungsi melakukan bunuh diri, 16 orang Hazara dan 1 orang Rohingya. Selain itu, ada lebih dari 20 kasus percobaan bunuh diri yang aku tahu. Kami saling mengamankan satu sama lain supaya itu tidak terjadi.
Beberapa kawan pengungsi berkata mereka yang meninggal sudah tidak merasakan lagi sakit dan pahitnya hidup. Tapi, bagaimana mereka yang berusaha terus hidup? Hampir tak satu pun dari kami yang tidak pernah menggunakan obat depresi dan obat tidur.
Mari kuperkenalkan kamu dengan seorang pengungsi berusia 50 tahun dari Afganistan. Namanya Bismillah. Ia seorang ayah dengan dua anak. Anak perempuan berusia 10 tahun dan anak laki-laki berusia 14 tahun.
Dahulu ia tinggal di Kabul. Dentuman bom dan penembakan yang terus-menerus menghantui membuatnya mengambil keputusan meninggalkan negaranya. Harapannya sederhana, menemukan negara yang memberikan keamanan dan kenyamanan. Setelah itu, ia akan memboyong keluarganya.
Pada 2013, bersama puluhan orang lain, Bismillah mendapatkan tiket pesawat menuju India. Dari situ, mereka pergi ke Malaysia. Kemudian dengan menggunakan perahu, para pengungsi itu mengarungi laut menuju Medan, Indonesia. Dan akhirnya, saat ini ia berada di Makassar.
Bismillah menghuni sebuah kamar petak berukuran 2×3 meter persegi yang disediakan IOM (International Organization for Migration). Kamar itu dihuni dua orang. Setiap hari, ia bangun pukul 04.30 dan bersiap beribadah salat. Kemudian, ia berjalan-jalan di lapangan kampus Universitas Hasanuddin.
Rasa rindunya pada keluarga hampir tak bisa dilukiskan. Dari gawai telepon genggam, ia menyaksikan kedua anaknya bertumbuh sejak ia tinggalkan sembilan tahun lalu.
“Kapan bapak bisa peluk aku? Aku sudah mau dewasa dan nanti kalau besar, aku malu dipeluk,” tanya putrinya.
Pertanyaan seperti itu selalu tak bisa ia jawab. Bismillah menenggelamkan ingatannya jauh ke Kabul, lalu menangis dalam kamar.
Tak hanya itu. Pada 2021, ibu Bismillah meninggal karena kanker. Setahun kemudian, ayahnya menyusul. Baginya, kenangan sembilan tahun lalu hanya bisa dirasakan dalam jiwa. Ia hanya bisa pasrah dan mengirimkan doa.
Aku kira Bismillah adalah potret semua pengungsi di sini. Mereka bertahan di negara transit dalam penantian tak pasti demi ‘rumah baru’ di negara penerima suaka.
Jika orang-orang selalu bertanya kenapa Indonesia dipenuhi pengungsi, mungkin cerita ini bisa memberi gambarannya. Kami ingin seperti kalian juga, sebagai manusia, yang punya rumah dan berkeluarga dengan aman dan nyaman.
Sebagai orang Hazara, aku menghendaki gelombang pengungsian dari Afghanistan berhenti. Namun, faktanya orang Hazara selalu menjadi target persekusi oleh kelompok garis keras seperti Al Qaeda, ISIS, dan Taliban.
Kini, Afghanistan dikuasai oleh Taliban. Tahun lalu, ketika sebuah bom meledak di depan rumahnya. Bismillah sangat kalut.
“Ayah, aku takut kena bom,” kata putrinya.
Cerita foto ini merupakan bagian serial kolaborasi #PengungsiMenulis antara the archipelago dan Project Multatuli. Project Multatuli adalah inisiatif jurnalisme publik untuk melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.
Editor: Ricky Yudhistira
If you liked this piece and would like to help more artists like this publish their work, please consider supporting our writers and artists by becoming a member HERE.
Ali Froghi is a Hazara fine art student and self-taught photographer. For the last seven years, he has lived in Indonesia where he is a refugee. His art focuses on expressionism, pain and depression. His photography explores refugees’ daily lives. Follow Froghi on Youtube, Instagram and Facebook. Ali Froghi telah berpartisipasi dalam sejumlah pameran mural dan foto di Makassar. Sebagai seorang seniman dan fotografer, ia mengekspresikan kesedihan dan kepedihan yang dialami para pengungsi sehari-hari melalui karya foto dan video. Proyek seni pribadinya, The Other Side, merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan kisah tersembunyi para pengungsi di balik pintu tertutup, dilupakan oleh media dan dunia.