To read this piece in English, click HERE
Bayangkan seorang anak perempuan sebatang kara hidup menggelandang di jalanan, di tengah-tengah negeri yang tercabik oleh perang saudara tanpa akhir. Ia tidak pernah tahu apakah dapat makan esok hari, apalagi nasib yang akan menimpanya nanti.
Begini ceritanya.
Hari itu begitu cerah. Seorang asing menghampiri sang anak perempuan dengan tawaran hidup lebih layak—dan ia percaya mentah-mentah. Orang ini kemudian mengantarkannya menemui keluarga yang akan menampungnya. Awalnya, sang perempuan berpikir bahwa keluarga ini akan memberinya kehidupan yang lebih baik, tapi lekas sadar bahwa ia tinggal di rumah mereka sebagai pembantu. Keluarga ini memperlakukannya dengan begitu buruk hingga sang perempuan melarikan diri. Ia memutuskan untuk kembali ke jalanan, kepada hari-hari penuh ancaman dan risiko, ketimbang hidup dengan manusia-manusia yang memperlakukannya sebagai budak.
Lagi-lagi, sang perempuan menjalani hidup tanpa rasa aman maupun kepastian. Untuk waktu yang begitu lama, ia sama sekali tidak mendapatkan uluran tangan dari siapapun. Kondisi negerinya yang porak-poranda membuatnya terlantar tanpa rumah. Tidak ada yang peduli kepada anak-anak atau yatim-piatu yang terlunta-lunta. Hingga hal yang sama terulang kembali: suatu hari, seorang laki-laki mengajaknya tinggal sebagai pembantu. Sang perempuan, yang saat itu begitu sengsara, mencari sisa-sisa harapan dalam tawaran ini. Memangnya ia punya pilihan lain?
Setelah tinggal dengan keluarga baru dan bekerja untuk mereka tanpa bayaran, ia pun mulai bertanya: dunia semacam apa yang aku tempati ini? Sebagai perempuan yang beranjak remaja, pertanyaan-pertanyaan ini menjelma dan datang bergulir. Ia tidak berani memohon pertolongan kepada orang lain, apalagi mendatangi polisi.
Ketika keluarga induk semangnya mendapat sponsor untuk pindah ke Eropa, sang perempuan pun ikut menginjakkan kakinya di negeri asing, dengan orang-orang berkulit putih. Hari-hari yang harus ia tempuh pun kian kelabu. Kini, ia harus menghadapi diskriminasi karena perawakannya yang tampak begitu berbeda. Orang-orang di jalan melemparnya dengan tatapan aneh, seakan bertanya: memangnya apa yang membuatmu ke sini, ke Eropa?
Ia membutuhkan seorang teman, seseorang yang peduli akan keberadaannya di tempat asing ini. Teman yang dapat menjaganya, – seorang perempuan muda berkulit hitam yang terdampar di negara asing yang begitu putih. Dilihat dari sisi manapun, nasib yang menimpanya jauh dari adil, dan itu membuatnya merasa hampa dan terpuruk. Namun, ia tidak menyerah: hidupnya memang perjalanan panjang melalui lautan kerikil tajam, tapi ia akan terus melangkah.
Tidak terhitung sudah berapa banyak sang perempuan menghadapi diskriminasi, diremehkan, maupun diabaikan. Tahun demi tahun, ia jalani semuanya dengan penuh perjuangan. Sampai akhirnya, pelan-pelan hidupnya membaik dan semakin cerah. Sang perempuan mempelajari bahasa baru dan menemukan panggilannya menjadi desainer. Ia melamar ke beberapa perusahaan. Setelah beberapa kali mendapat penolakan, ia pun mampu menimba pengalaman bekerja yang kemudian membuatnya dapat meraih mimpinya menjadi seorang desainer. Lalu, hidup juga mengantarkan sang perempuan bertemu dengan calon suaminya. Kini, ia telah menjadi ibu dari dua anak pemberani yang begitu membanggakan.
Di terjemahkan dari Bahasa Inggris Oleh Eduard Lazarus adalah seorang penulis, editor, dan penerjemah yang bermukim di Jakarta. Tulisannya diterbitkan di Jacobin Magazine, Asia Democracy Chronicles, dan Lowy Institute.
Bariirah Geedi is a writer from Somalia living in Jakarta, Indonesia for the last eight years. She dreams to be a creative writer. Her writing is based on life experiences being a child refugee and the struggle of stigma that many refugee girls grow up with. Bariirah Geedi, penulis dari Somalia yang sudah bermukim di Jakarta selama delapan tahun terakhir ini. Bermimpi kelak menjadi seorang penulis kreatif, tulisannya menceritakan pengalaman hidup sebagai seorang pengungsi anak serta perjuangan mendobrak belenggu stigma yang dialami oleh para pengungsi perempuan muda.